Jurnal Bedah Hukum https://uby.ac.id/ejournal/index.php/jbh <p>Jurnal Bedah Hukum terdaftar dengan ISSN&nbsp;<strong><a href="http://u.lipi.go.id/1569628978">2686-5327</a>&nbsp;</strong>(media online),&nbsp;<strong><a href="http://u.lipi.go.id/1486436849">2579-5228</a>&nbsp;</strong>(media cetak) di Terbitkan oleh&nbsp;<a href="http://uby.ac.id/visi-misi-fakultas-hukum/">Fakultas Hukum Universitas Boyolali</a>, terbit dua kali setahun (<strong>April dan Oktober</strong>), terbit pertama kali bulan April 2017. Jurnal Bedah Hukum <strong>diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Boyolali</strong>, yang merupakan wadah atau sarana yang menerbitkan tulisan ilmiah hasil-hasil penelitian maupun non hasil penelitian di bidang ilmu-ilmu hukum Seperti (Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negra, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Islam yang belum pernah diterbitkan atau sedang dalam proses penerbitan di jurnal-jurnal ilmiah lain. Redaksi berhak mengubah tulisan tanpa mengubah maksud atau substansi dari naskah yang dikirimkan. Naskah yang belum layak diterbitkan dalam Jurnal Hukum, tidak dikembalikan kepada pengirimnya, kecuali atas permintaan dari penulis yang bersangkutan.</p> Fakultas Hukum Universitas Boyolali en-US Jurnal Bedah Hukum 2579-5228 Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Revenge Porn Melalui Konten Pornografi Yang Dibuat Berdasarkan Kesepakatan (Based On Consent) https://uby.ac.id/ejournal/index.php/jbh/article/view/1320 <p>Social media, which is increasingly being used nowadays, has also increased cases of sexual violence, namely online gender-based violence (KBGO). In 2022, there will be 1,721 cases. Revenge porn is widespread and experienced by women. As victims, women often receive negative treatment from society or their families. The shame of the victim's family in reporting and the lack of understanding of law enforcement also make it difficult for victims to defend themselves before the law, especially in revenge porn based on consent. The formulation of this research problem is: How does positive law in Indonesia provide legal protection for women as victims of revenge porn? Is revenge porn carried out based on an agreement (based on consent) included in the type of crime of sexual violence? The normative judicial method was carried out based on the findings of secondary and primary data from the team on victims, perpetrators, witnesses, officials of the Women's and/or Children's Protection Service of Malang City/Regency, and experts. Analyzed using qualitative descriptive methods. Produce: First, Indonesia already has Republic of Indonesia Law No. 13 of 2006 in conjunction with Republic of Indonesia Law No. 31 of 2014 concerning Witness and Victim Protection Institutions and Republic of Indonesia Law, &nbsp;UU Pornografi, UU ITE, No. 12 of 2022 concerning Criminal Sexual Violence as a form of legal protection for women victims of revenge porn. Second, the action of revenge porn based on consent fulfills the elements in Article 14 of Republic of Indonesia Law No. 12 of 2022 concerning the crime of sexual violence.</p> Mufidatul Ma'sumah Halimatus Khalidawati Salmah Bellinda Oktovani BP Copyright (c) 2024 Jurnal Bedah Hukum 2024-04-30 2024-04-30 8 1 228 242 10.36596/jbh.v8i1.1320 Digital Forensik Sebagai Alat Bukti Terhadap ODGJ (Orang Dalam Gangguan Jiwa) Untuk Menentukan Pertanggungjawaban Pidana https://uby.ac.id/ejournal/index.php/jbh/article/view/1346 <p><strong><em>Abstract</em></strong></p> <p><em>Determining criminal responsibility for perpetrators of criminal acts who are mentally ill is one of the duties of a judge in court because the conditions for punishing a person include being convinced that they fulfill the requirements to prove that they are guilty of committing a criminal act and that the perpetrator is declared capable of taking responsibility as stipulated in Article 6 (1) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power, an examination process is carried out by a mental doctor or psychiatrist. The development of information technology has had an impact on the examination process so that digital forensics is needed to prove whether or not criminal perpetrators who experience mental disorders are declared capable of responsibility. The aim of this research is to answer the role of digital forensics in conducting examinations of ODGJ and digital forensics as evidence for ODGJ to determine criminal responsibility. The research method used is a normative juridical approach, with descriptive research type, secondary data sources, data collection methods using library studies, normative qualitative data analysis methods with deductive conclusions drawn..</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p><em>Penentuan pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana orang dalam gangguan jiwa merukan salah satu tugas hakim di pengadilan karena syarat menghukum seseorang diantaranya keyakinan memenuhi syarat pembuktian telah bersalah melakukan tindak pidana dan pelaku dinyatakan mampu bertanggung jawab sebagaimana Ketentuan Pasal 6 (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka dilakukan proses pemeriksaan oleh dokter jiwa atau psychiater. Perkembangan teknologi informasi membawa dampak terhap proses pemeriksaan sehingga diperlukan digital forensic untuk membuktikan bahwa pelaku tindak pidana yang mengalami gangguan jiwa terbukti atau tidak dinyatakan mampu bertenggung jawab. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menjawab peranan digital forensic dalam melakukan pemeriksaan terhadap ODGJ dan digital forensic sebagai alat bukti terhadap ODGJ untuk menentukan pertanggungjawaban pidana. Metode penelitian yang digunakan dengan pendekatan yuridis normatif, dengan jenis penelitian deskriptif, sumber data sekunder, metode pengumpulan data dengan studi kepustakaan, metode Analisa data normative kualitatif dengan ditarik kesimpulan secara deduktif</em></p> Burham Pranawa Copyright (c) 2024 Jurnal Bedah Hukum 2024-04-30 2024-04-30 8 1 243 256 10.36596/jbh.v8i1.1346 Program Percepatan Penurunan Stunting Di Kota Madiun Sebagai Pemenuhan Hak Atas Kesehatan https://uby.ac.id/ejournal/index.php/jbh/article/view/1316 <p><strong><em>Abstract </em></strong></p> <p><em>This research examines the program to accelerate stunting reduction in the city of Madiun in 2022. Based on Presidential Regulation Number 72 of 2021 concerning the Acceleration of Integrated Stunting Reduction and the Regulation of the National Population and Family Planning Agency of the Republic of Indonesia Number 12 of 2021 concerning the National Action Plan for the Acceleration of Reducing Stunting Rates Indonesia for 2021-2024, as well as Regulation of the Governor of East Java Province no. 68 of 2001 concerning the Acceleration of Reducing Integrated Stunting in 2021-2024. The method used is a normative-empirical research method with data collection techniques through literature studies, documents and interviews. The data analysis method used is an interactive data analysis technique. The research results are based on statutory regulations in the City of Madiun, which does not yet have a Regional Regulation on PPS, however, in the absence of a Regional Regulation, the City of Madiun has issued a policy on the PPS Program which is contained in the Decree of the Mayor of Madiun Number 440-401.103/165/2022 concerning Amendments to Decrees Mayor of Madiun number 401.103/63/2022 concerning the Formation of the Madiun City PPS Team, then the formation of sub-district and sub-district level decrees numbered SK Mayor of Madiun number 440-401.103/019/2022 and 440-401.103/033/2022. Based on data obtained, the stunting prevalence rate in Madiun City in 2022 was 9.7 percent, this figure is down from 2021 which was recorded at 12.4 percent.</em></p> <p><strong><em>Abstrak</em></strong></p> <p>Penelitian ini mengkaji tentang program percepatan penurunan stunting di kota Madiun tahun 2022. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan stunting terintegrasi dan Peraturan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia Tahun 2021-2024, serta Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Timur no 68 Tahun 2001 tentang Pecepatan Penurunan Stunting Terintegrasi Tahun 2021-2024. Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif-empiris dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka, dokumen dan wawancara. Metode analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemkot madiun telah melaksanakan program percepatan penurunan stunting dengan berbagai kegiatan, terkait regulasi Kota Madiun belum memiliki Peraturan Daerah tentang stunting, akan tetapi dengan ketiadaannya Peraturan Daerah Kota Madiun telah mengeluarkan kebijakan tentang Program PPS yang tertuang dalam Surat Keputusan Walikota Madiun Nomor 440-401.103/165/2022 tentang Perubahan atas Keputusan Walikota Madiun nomor 401.103/63/2022 tentang Pembentukan Tim PPS Kota Madiun, kemudian dibentuknya SK tingkat Kecamatan dan Kelurahan nomor SK Walikota Madiun nomor 440-401.103/019/2022 dan 440-401.103/033/2022. Berdasarkan perolehan data angka prevalensi stunting di Kota Madiun tahun 2022 sebesar 9,7 persen, angka tersebut turun dari tahun 2021 yang tercatat di angka 12,4 persen</p> Siska Diana Sari Copyright (c) 2024 Jurnal Bedah Hukum 2024-04-30 2024-04-30 8 1 257 279 10.36596/jbh.v8i1.1316 Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dalam Perjanjian Kredit Bank terkait Risiko yang Timbul Akibat Pandemi Covid-19 https://uby.ac.id/ejournal/index.php/jbh/article/view/1328 <p>In the era of modern economic life, banking institutions in Indonesia have a very crucial role in the national financial system. Services provided by the bank to the public are money transfer services, collection services, savings and loan services and others. The condition of the banking world in Indonesia has undergone many changes from time to time. This study aims to find out how to regulate legal protection for bank customers and how to form legal protection for customers in credit agreements related to risks arising from the covid-19 pandemic. This study uses a juridical-normative research method. The results of the study show that the regulation of legal protection for customers during the Covid-19 disaster is the Civil Code, Bank Indonesia Regulations, Consumer Protection Laws and Financial Services Authority Regulations. The implementation of legal protection for customers against the COVID-19 pandemic is quite good. This is indicated by the Bank's compliance with all forms of regulations made by regulators including the government. The conclusion from this research is that the policy and implementation of law enforcement in legal protection for customers in a state of the Covid-19 pandemic disaster is carried out quite well by the Bank. The suggestion from the author is that there should be more detailed regulations regarding customers when experiencing a disaster or pandemic and it is hoped that banking institutions carry out the mandate of the Financial Services Authority Regulation.</p> Haris Budiman Suwari Akhmaddhian Bias Lintang Dialog Dikha Anugrah Adam Banyu Fernanda Copyright (c) 2024 Jurnal Bedah Hukum 2024-04-30 2024-04-30 8 1 280 295 10.36596/jbh.v8i1.1328 Pemaksaan Pernikahan Korban Pemerkosaan Dengan Pelaku Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia https://uby.ac.id/ejournal/index.php/jbh/article/view/1303 <p><em>Rape is a despicable act that violates the dignity of a woman. Not only women, even children are often victims of these barbaric acts. And not a few of these legal problems are considered over by marrying the victim to the perpetrator. This research has a goal that focuses on examining and analyzing the legal arrangements that apply in Indonesia to the forced marriage of victims and legal protection efforts and the impact that occurs to victims if married to the perpetrator of rape. The research method used is normative juridical by processing primary, secondary, and tertiary data which are all related to the topic raised. The results of the discussion of this research are based on article 10 paragraph (1) and (2) of Law Number 12 of 2022 concerning Criminal Acts of Sexual Violence, forcing the victim's marriage to the perpetrator is coercion of rape and is punishable by 9 (nine) years imprisonment and / or a fine of Rp. 200,000,000 (two hundred million rupiah)</em><em>.</em></p> Rizka Rizka Achmad Dzaki Prasetyo Copyright (c) 2024 Jurnal Bedah Hukum 2024-04-30 2024-04-30 8 1 296 309 10.36596/jbh.v8i1.1303 Kewenangan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 https://uby.ac.id/ejournal/index.php/jbh/article/view/1055 <p><em>In order to actualize the mandate of Pancasila and the 1945 Constitution, that is for justice and prosperity for society, the Indonesian’s Government needs to carry out national development. One of the national developments that carried out by the Indonesian’s Government is through the infrastructure development. The infrastructure’s development that is currently being built by the Indonesian’s Government is the Construction of the Trans Sumatera Toll Road (<strong>“JTTS”</strong>), which is assigned to PT Hutama Karya (Persero), and its construction requires a land acquisition process. The land acquisition process is often creates problems and obstacles. The purpose of this writing is to find out who is the authorized party to carry out the land acquisition and what is the impact of the delays in the land acquisition process in JTTS development, especially on the Padang – Sicincin Section. The writing method uses in this writing is the doctrinal writing method. From this writing it can be seen that the implementation of the land acquisition for the public interesy is in the authority of the Indonesian’s Government and the constrained land in the acquisition process has resulted in the delays of the JTTS development.&nbsp; </em></p> <p><em>Dalam rangka mewujudkan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu untuk keadilan dan kemakmuran masyarakat, Pemerintah Indonesia, perlu melakukan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang dilakukan Pemerintah salah satunya melalui pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang dibangun oleh Pemerintah adalah Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (<strong>“JTTS”</strong>) yang ditugaskan kepada PT Hutama Karya (Persero), dan dalam pembangunannya membutuhkan proses pengadaan tanah. Pengadaan tanah yang dilakukan ini sering kali menimbulkan permasalahan dan kendala. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui siapa yang berwenang dalam menyelenggarakan pengadaan tanah dan bagaimana dampak dari terkendalanya proses pengadaan tanah tersebut dalam Pembangunan JTTS, khususnya pada Ruas Padang – Sicincin. Adapun metode penulisaan ini menggunakan metode penulisan doktrinal. Dari penulisan ini dapat diketahui bahwa penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan kewenangan Pemerintah dan proses pengadaan tanah yang terkendala ini mengakibatkan keterlambatan pada Pembangunan JTTS.</em></p> Kadek Wahyudi Saputra Suparji Anis Rifai Copyright (c) 2024 Jurnal Bedah Hukum 2024-04-30 2024-04-30 8 1 10.36596/jbh.v8i1.1055 Perlindungan Hukum Pemegang Sertifikat Hak Guna Bangunan Yang Tumpang Tindih Dengan Kawasan Hutan Lindung https://uby.ac.id/ejournal/index.php/jbh/article/view/1254 <p>Penelitian ini membahas kebijakan pemerintah terhadap kepastian hukum bagi pemegang sertifikat hak guna bangunan dalam konteks hutan lindung serta bagaimana prosedur yang dijalani dalam penerbitan sertifikat yang sesuai dengan undang-undang agraria. Kota Batam terletak di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia, Batam merupakan bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau. Status tanah di Kota Batam terbagi atas tiga yaitu: pertama, tanah yang berada di atas pengelolaan BP Batam dalam kawasan perdagangan bebas atau free trade zone (FTZ) area, kedua, tanah yang berada di atas pengelolaan pemerintah Kota Batam, dan ketiga, tanah yang bukan berada di atas hak pengelolaan yang berada di atas tanah Negara selain dari Pulau Batam, status tanah kedua dan ketiga berada diluar kawasan perdagangan bebas atau free trade zone (FTZ) area. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kepastian hukum dalam kepemilikan hak guna bangunan di kawasan hutan lindung di kota Batam. Metode penelitian yang digunakan dengan pendekatan yuridis normative dengan menggunakan data sekunder. Pemerintah telah mengambil beberapa langkah, termasuk opsi relokasi dan perubahan batas kawasan hutan, untuk melindungi hak-hak pemilik tanah ini. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.44/Menhut II/2012 jo P.62/Menhut-II/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan mengatur penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang sah dalam penunjukan kawasan hutan telah menjadi salah satu solusi dalam penanganan permasalahan persengketaan kepemilikan hak tanah hutan lindung Dalam upaya menjaga kepastian hukum dan melindungi hak-hak pemegang sertifikat hak guna bangunan di kawasan hutan lindung, kerjasama yang baik antara pemerintah daerah, desa, dan masyarakat sangat penting. Proses penyelesaian konflik harus dilakukan dengan adil dan sesuai dengan hukum, dan ini memerlukan koordinasi yang baik antara berbagai pihak. Keberhasilan dalam menjaga keadilan hukum dalam konteks kawasan hutan lindung bergantung pada bagaimana semua pihak bekerja sama dalam menjalankan seluruh proses hukum yang berlaku. Dengan demikian, hak-hak pemegang sertipikat hak milik atas tanah di kawasan&nbsp; hutan lindung tetap terlindungi, sementara fungsi hutan lindung tetap terjaga”.</p> <p><strong><em>Kata kunci</em></strong><em>: Perlindungan Hukum,Pemegang Sertifikat Hak Milik, Kawasan&nbsp; Hutan Lindung </em></p> Aulia Andary Weydhani Putri Shenti Agustini Febri Jaya Copyright (c) 2024 Jurnal Bedah Hukum 2024-04-30 2024-04-30 8 1 323 337 10.36596/jbh.v8i1.1254 Tinjauan Yuridis Terkait Upaya Pemohon dan Termohon Atas Putusan Arbitrase Menurut Perundang-undangan di Indonesia https://uby.ac.id/ejournal/index.php/jbh/article/view/1096 <p>Kata Latin arbitrase menunjukkan otoritas untuk membawa suatu tindakan ke suatu kesimpulan sesuai dengan tingkat keahlian seseorang. Suatu persepsi dapat timbul bahwa seorang arbiter atau majelis arbitrase tidak lagi terikat oleh prinsip-prinsip hukum ketika menyelesaikan suatu sengketa dan hanya akan fokus pada pencapaian penyelesaian yang disetujui bersama. Arbiter atau panel sebenarnya menerapkan hukum seperti hakim atau pengadilan, bertentangan dengan kepercayaan umum. Arbitrase adalah mekanisme hukum untuk menyelesaikan sengketa perdata yang terjadi di luar sistem peradilan adat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Makalah ini mengeksplorasi upaya hukum yang tersedia dalam menanggapi keputusan arbitrase yang final dan mengikat. Artikel ini terutama akan mengkaji Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang pengaturan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Selain itu, ini akan mengeksplorasi aturan terkait mengenai proses peninjauan kembali dengan alasan membatalkan hasil arbitrase. Karena pendekatan yuridis normatif diambil untuk penelitian, sumber sekunder memberikan informasi awal. Data primer berasal dari teks hukum primer, sedangkan data sekunder berasal dari bahan hukum sekunder. Berdasarkan temuan jurnal ini, dengan syarat yang diatur dalam Pasal 70 UU No. 30 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Putusan Arbitrase dapat diajukan ke Pengadilan Negeri untuk Pembatalan Putusan Arbitrase. Menurut penelitian yang dipaparkan dalam jurnal ilmiah ini, sesuai dengan ketentuan yang dituangkan dalam Pasal 70 UU No. 30 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Putusan Arbitrase dapat diajukan ke Pengadilan Negeri untuk membatalkan putusan tersebut.</p> Muspardi Muspardi Anis Rifai Suartini Suartini Copyright (c) 2024 Jurnal Bedah Hukum 2024-04-30 2024-04-30 8 1 10.36596/jbh.v8i1.1096 Potensi Masalah Hukum Dalam Tanda Tangan Elektronik Dalam Pembuktian Hukum Acara Perdata Indonesia https://uby.ac.id/ejournal/index.php/jbh/article/view/1047 <p><strong><em>Abstract </em></strong></p> <p><em>Electronic signatures are currently often used on digital-based documents which basically can be said to be in the form of non-paper documents which can be debated in the process of proving civil procedural law because they are not in accordance with the types of evidence where the requirements are in physical form. Therefore the author raises issues such as what is the legal basis for the validity of electronic signatures in making agreements between parties in the technological era? how is the legal force of proving electronic signatures in Indonesian civil procedural law? The research method in this scientific journal uses a normative juridical approach using existing data through Open Source. The results of the research found that the legal basis for electronic signatures is regulated in the Electronic Transactions Act which provides a definition in the form of part of an electronic agreement for parties to agree together through the existence of an electronic system in preparing, analyzing, collecting, processing, storing , convey and be able to disseminate information electronically. Electronic signing as a form of electronic data on an agreement document in civil procedural law can be a potential problem if it is used as evidence in a proving trial process in court. Where electronic signing is a paperless transaction. This of course raises problems when the proof process is not in accordance with what is regulated in Article 1866 of the Civil Code, in this case it means that the evidence in the form of electronic data submitted is considered to have no legal force of proof, therefore it does not rule out the possibility that judges and other parties will reject it as evidence. Suggestions for the future are that the court can accommodate evidence in the form of electronic signatures. electronic data submitted is considered to have no legal force of proof, therefore it does not rule out the possibility that judges and other parties will reject it as evidence. Suggestions for the future are that the court can accommodate evidence in the form of electronic signatures</em></p> <p><strong>Abstrak</strong></p> <p>Tanda tangan elektronik saat ini sering dipakai pada dokumen yang berbasis digital yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai bentuk dari dokumen non-kertas yang dapat menjadi perdebatan dalam proses pembuktian hukum acara perdata karena tidak sesuai dengan jenis-jenis alat bukti yang mana persyaratannya dalam bentuk fisik. Oleh sebab itu penulis mengangkat permasalahan seperti bagaimanakah dasar hukum keabsahan dari tanda tangan elektronik dalam melakukan perjanjian antara para pihak di era teknologi? bagaimana kekuatan hukum pembuktian tanda tangan elektronik dalam hukum acara perdata Indonesia? Metode penelitian pada jurnal ilmiah ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan memakai data-data yang ada melalui Open Source. Hasil dari penelitian menemukan dasar hukum dari tanda tangan elektronik diatur pada Undang-Undang Transaksi Elektronik yang memberikan definisi berupa bagian dari suatu perjanjian elektronik bagi para pihak secara bersama-sama untuk bersepakat melalui adanya sistem secara elektronik dalam mempersiapkan, menganalisis, mengumpulkan, mengolah, menyimpan, menyampaikan dan dapat untuk menyebarkan suatu informasi secara elektronik. Penandatanganan Elektronik sebagai bentuk dari data elektronik pada suatu dokumen perjanjian dalam hukum acara perdata ini dapat menjadi potensi masalah apabila digunakan sebagai bahan bukti di dalam sebuah proses persidangan pembuktian di pengadilan. Yang mana adanya penandatanganan secara elektronik merupakan transaksi tanpa kertas. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan pada saat proses pembuktian yang tidak sesuai dengan yang diatur dalam pasal 1866 KUH Perdata, dalam hal ini berarti bukti berupa data elektronik yang diserahkan dianggap tidak memiliki kekuatan hukum pembuktian, oleh karenanya tidak menutup kemungkinan hakim dan pihak lain akan menolaknya sebagai alat bukti. Saran kedepannya agar pengadilan dapat mengakomodir alat bukti berupa tanda tangan elektronik.</p> Irvan Fauzi Anis Rifai Arina Novizas Shebubakar Copyright (c) 2024 Jurnal Bedah Hukum 2024-04-30 2024-04-30 8 1 10.36596/jbh.v8i1.1047